Senin, 24 Oktober 2016

person centered
















POST-POSITIVISME


LATAR BELAKANG
Post Positivisme merupakan aliran yang mengkritisi aliran posiutivisme, aliran post positivisme merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-keleman positivisme yang mengandalkan kemampuan pengamtan langsung terhadap objek yang diteliti. Paham ini menentang positivisme, alasannya karena tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang pasti atau mutlak, sebab manusia selalu berubah.
Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu  modifikasi dari Positivisme. Melihat banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam  metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Filsafat positivisme memandang realitas/gejala/fenomena itu dapat diklasifikasikan, relative tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Selanjutnya filsafat post-positivisme sering juga disebut sebagai paradigma interpretif dan konstruktif, yang memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistic,  kompleks, dinamis, penuh makna, dan  hubungan gejalanya bersifat interaktif (reciprocal).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.


      Post Positivisme
Lahirnya Post-Positivisme berawal dari tiga kritikan yaitu : Pertama, observasi sebagai unsur utama metode penelitian. Kedua, hubungann yang kaku antara teori dan bukti.  Pengamat memiliki sudut pandang yang berbeda dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu. Ketiga, tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis. Oleh karena itu maka secara metodologis pendekatan experimen melalui observasi tidak cukup tetapi harus dibantu dengan metode lain (trianggulasi).
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yangdite liti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh peneliti. Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui  berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Munculnya gugatan terhadap positivisme  dimulai pada tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokoh aliran ini adalah Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan  ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Karl Popper lahir pada 28 Juli 1902 di   ViennaAustria  dan meninggal di LondonInggris pada tanggal 17 September  1994 (umur 92 tahun). Popper merupakan salah satu dari sekian banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu. Falsifikasi adalah suatu gagasan dalam melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan. Dengan menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya.
Popper menggaris bawahi bahwa akal baru sungguh-sungguh bersifat kritis, apabila mau membuang parameter yang mula-mula dipaksakan (imposed regulaties). Pandangan ini disebut pula sebagai rasionalisme kritis di mana rasionalisme tidak berarti bahwa pengetahuan didasarkan pada nalar seperti dikatakan Descartes dan Leibniz, melainkan bahwa sifat rasional dibentuk lewat sikap yang selalu terbuka untuk kritik. Inilah di antaranya prinsip falsifikasi yang diutarakan oleh Popper dalam melakukan kritik terhadap paradigma positivisme yang dianggap kaku dengan cara menggunakan serta hanya mengakui metode ilmiah yang umumnya digunakan (bersifat positivistik).
Untuk mengetahui pospositivisme dapat kita gambarkan dalam 4 bagian
1.    Harus diakui bahwa aliran ini bukan merupakan filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang sangat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa pospositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian, suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
2.    Pandangan aliran positivisme bukan suatu realitas yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan pospositisme.
3.    Banyak pospositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realismedan ini, menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan. Realisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Pospositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
4.    Karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, Maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Pandangan ini tidak bisa diterima karena objektivitas nerupakan indeikator kebenaran  yang melandasi penyelidikan yang ingin ditekankan bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.

          Paradigma Post Positivisme
Paradigma (paradigm) dapat di definisikan bermacam-macam sesuai dengan sudut pandang masing-masing orang.  Ada yang menyatakan bahwa paradigma merupakan suatu citra yang fundamental dari pokok permasalahan dari suatu ilmu. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperolehnya. Namun secara umum paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kekayaan atau keyakinan dasar yang menuntut sesorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam proses keilmuan, paradigma keilmuan memegang peranan yang penting. Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Menurut Thomas Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah.
Salah satu bentuk paradigma pospositivisme adalah paradigma interpretatif. Pendekatan interpretif berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman dalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari dunia sosial dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain. Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk.
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: “Basic belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and epistomologically fundamental ways.” Pengertian tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metode tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis.
1.      The ontological question: What is the form and nature of reality and, therefore, what is there that can be known about it? Pertanyaan ontologi: Apakah bentuk dan hakikat realitas dan selanjutnya apa yang dapat diketahui tentangnya?
2.      The epistomological question: What is the nature of the relationship between the knower or would be-knower and what can be known? Pertanyaan epistomologi: Apakah hakikat hubungan antara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dan apa yang dapat diketahui.
3.      The methodological question: How can the inquirer (would-be knower) go about finding out whatever he or she believes can be known. Pertanyaan metodologi: Bagaimana cara peneliti atau yang akan menjadi peneliti dapat menemukan sesuatu yang diyakini dapat diketahui.
Sedangkan Guba (1990:18) menyatakan suatu paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan ontologi, epistomologi, dan metodologi. Selanjutnya dijelaskan:
1.      Ontological: What is the nature of the knowable? or what is the nature of reality? Ontologi: Apakah hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui? Atau apakah hakikat dari realitas? Secara lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan tentang hakikat suatu realitas, atau lebih konkret lagi, ontologi mempertanyakan hakikat suatu fenomena.
2.      Epistomological: What is the nature of the relationship between the knower (the inquirer) and the known (or knowable)? Epistomologi: Apakah hakikat hubungan antara yang ingin mengetahui (peneliti) dengan apa yang dapat diketahui? Secara lebih sederhana dapat dikatakan epistomologi mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui realitas, atau lebih konkret lagi epistomologi mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi atau dapat terjadi?
3.      Methodological: How should the inquirer go about finding out knowledge? Metodologi: Bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan? Secara lebih sederhana dapat dikatakan metodologi mempertanyakan bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan, atau lebih konkret lagi metodologi mempertanyakan cara atau metoda apa yang digunakan oleh peneliti untuk menemukan pengetahuan?
Apabila dianalisis secara saksama dapat disimpulkan bahwa pandangan Denzin & Lincoln dan pandangan Guba tentang ontologi, epistomologi serta metodologi pada dasarnya tidak berbeda. Dengan mengacu pandangan Guba (1990) dan Denzin & Lincoln (1994) dapat disimpulkan bahwa paradigma adalah sistem keyakinan dasar yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi, dan metodologi atau dengan kata lain paradigma adalah sistem keyakinan dasar sebagai landasan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara peneliti mengetahui realitas.

     ASUSMSI DASAR POST-POSITIVISME
Seperti pendekatan-pendekatan lain dari filsafat, pendekatan post-positivistik juga memiliki asumsi-asumsi dasar yaitu sebagai berikut:
1.      Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2.      Falibilitas teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3.      Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4.      Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5.      Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah individual jamak.
6.      Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7.      Fokus kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
8.      Post-positivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada positivisme. Satu sisi post-positivisme sependapat dengan positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain post-positivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada peneliti post-positivisme adalah sebagai berikut:
1.      Asumsi ontologi: Critical realistreality exist but can never be fully apprehended. It is driven by natural laws that can be only incompletely understood. Artinya realis kritisartinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.
2.      Asumsi epistomologi: Modified objectivistobjectivity remains a regulatory ideal, but it can only be approximated with special emphasis placed on external guardians such as the critical tradition and critical community. Artinya Objektivis modifikasi-artinya objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.
3.      Asumsi metodologi: Modified experimental/manipulative emphasize critical multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more natural settings, using more qualitative methods, depending more on grounded theory, and reintroducing discovery into the inqury process. Artinya Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.

D.    Perbedaan Positivime dan Post Positivisme

Untuk dapat membedakan paradigma positivisme dan paradigma post-positivisme dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Asumsi
Positivisme
Post-Positivisme
Ontologi
bersifat nyata, artinya realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap
Realis kritis – artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya
Epistemologi
dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi dengan objek yang diteliti.
Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi
Objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.”
Metodologi
bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan/hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara cermat
Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya mene-kankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-theory) dan memper-lihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian


DAFTAR PUSTAKA
Ali Abdul Azhim. 1989. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu. Bandung: Rosda Offset.
Burhanuddin Salam. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.
Burhanuddin Salam. 1988. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bina Aksara.
Koento Wibisono Siswomihardjo. 1996. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivistime Auguste Comte. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mohammad Adib. 2011. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta